Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset saat ini tengah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat dan kalangan ahli hukum. Di satu sisi, RUU ini dianggap sebagai langkah revolusioner dalam memperkuat pemberantasan korupsi. Namun di sisi lain, tak sedikit pula yang menilai bahwa RUU ini berpotensi membuka celah pelanggaran terhadap hak-hak warga negara.
Inti dari kontroversi tersebut terletak pada mekanisme non-conviction based asset forfeiture yang diusung dalam RUU ini. Artinya, negara dapat merampas aset seseorang yang diduga berasal dari tindak kejahatan, tanpa perlu menunggu adanya vonis pengadilan yang menyatakan orang tersebut bersalah secara pidana. Inilah yang membuat sebagian pihak menyebut bahwa undang-undang ini bisa mengganggu prinsip asas praduga tak bersalah.
Lembaga-lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai bahwa aturan ini justru dapat mempercepat pemulihan kerugian negara. Selama ini, proses hukum terhadap koruptor kerap berjalan lambat, bahkan banyak yang akhirnya lolos dari jeratan hukum karena bukti tidak cukup kuat atau proses persidangan memakan waktu bertahun-tahun. Dengan adanya RUU ini, pemulihan aset bisa dilakukan lebih awal, sehingga uang rakyat tidak terus menguap begitu saja.
Namun, pengamat hukum dan kelompok masyarakat sipil memberikan catatan kritis. Mereka khawatir, tanpa adanya perlindungan hukum yang ketat, aturan ini justru bisa disalahgunakan. Misalnya, seseorang bisa kehilangan hartanya karena tuduhan semata, tanpa proses pengadilan yang adil dan transparan. Hal ini dinilai bisa membuka ruang bagi kriminalisasi atau penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.
Selain itu, terdapat juga kekhawatiran bahwa mekanisme perampasan aset ini bisa menjadi alat politik, terutama dalam konteks pemilu atau persaingan elit. Jika tidak diawasi ketat, perampasan aset bisa saja digunakan untuk menekan lawan politik dengan dalih pemberantasan korupsi.
Pemerintah mengklaim bahwa dalam RUU ini tetap ada mekanisme kontrol yang ketat. Proses perampasan aset tidak serta-merta dilakukan oleh aparat, tetapi harus melalui pengadilan khusus yang mengkaji asal-usul kekayaan seseorang. Dengan bukti yang kuat dan proses transparan, perampasan aset bisa dilaksanakan tanpa melanggar prinsip keadilan.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa pengesahan RUU Perampasan Aset bukan perkara mudah. Di satu sisi, urgensi pemberantasan korupsi memang sangat tinggi, namun di sisi lain perlindungan terhadap hak asasi manusia juga tidak bisa diabaikan. Keseimbangan antara dua hal ini menjadi kunci agar regulasi yang dihasilkan benar-benar memberikan manfaat tanpa menimbulkan ketidakadilan baru.
Untuk terus mengikuti perkembangan dan pembahasan terkini mengenai RUU ini dan isu-isu hukum nasional lainnya, Anda dapat membaca informasi lengkap di lensaterkini.id — media terpercaya dalam menyajikan berita tajam dan berimbang.