“Bagaimana Kami Yakin Jika Anda Tidak Bermain Uang, Pak Panji?”
DI DALAM sel tahanan Slot Spaceman yang pengap, yang hanya satu kipas angin yang berputar, Mas Panji duduk mencangkung.
Menyender pada tembok dingin, matanya kosong menatap lubang segi empat berkaca itu, satu-satunya jendela kecil yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar. Seperti lorong, di situlah ia menemukan sisa-sisa kebebasan-kebebasan yang kini hanya tinggal khayal.
Piring stainless sekat tiga berisi bubur, telur, dan buah belum disentuhnya sejak pagi. Waktu terus merangkak mendekati senja, tapi ia tetap di sana, membatu, hanya matanya yang sesekali berkedip lemah.
Ia berdiri, mendekati lubang itu, seakan-akan hendak bercakap dengan angin yang datang dari luar, dengan alam yang dulu begitu akrabinya.
“Janji… saya janji…” tiba-tiba kalimat itu meluncur dari bibirnya, parau. Sebuah janji yang terdengar begitu hampa, bahkan untuk dirinya sendiri.
Sipir penjara datang. Melihat sosok wali kota yang dulu gagah itu kini terpuruk di sudut sel, memeluk lutut dengan wajah lusuh tak terurus. Cambangnya sudah tak dicukur.
Setahun Mas Panji mendekam di balik jeruji penjara, setelah hakim memvonisnya tujuh tahun penjara karena korupsi. Di suatu sore yang sejuk, di sebuah vila megah di dataran tinggi, Tulus, seorang pengusaha senior, memandang serius ke arah Mas Panji. Keduanya duduk di ruang tamu, membahas langkah-langkah penting jelang pemilihan wali kota.
“Mas Panji tenang saja, saya yang akan bereskan,” kata Tulus tenang.
Mas Panji yang sedang mencalonkan diri sebagai Wali Kota Badilaga menyadari bahwa perjuangannya belum selesai. Suaranya masih kurang, terutama di dua kecamatan penting yang bisa menentukan hasil akhir.
“Kita masih butuh Rp50 miliar, Pak Tulus. Kecamatan A dan B itu kunci. Kita harus menang di sana,” katanya tegas.
Mas Panji tahu betul, tanpa uang segar, tak ada janji yang bisa terealisasi. Pengalaman dua kali pemilihan mengajarkannya bahwa elektabilitas saja tidak cukup.
“Tanpa amunisi, sulit,” ujar Dul Panjul, wali kota dua periode sebelumnya, yang selalu terngiang di telinganya. Sosok senior di partai politik yang selalu dijadikan Mas Panji sebagai sumur “ilmu politik praktis”.
Ketika kampanye berlangsung, tim sukses Mas Panji sibuk, pontang-panting, membagikan sembako dan uang tunai kepada warga. Mereka masuk-keluar dari kampung ke kampung untuk mempengaruhi warga, membentuk opini publik tentang sosok Mas Panji.
Meski era media sosial, membangun citra dari mulut-mulut dengan bertatap muka masih dianggap mereka sebagai senjata yang paling ampuh membentuk citra dan opini publik.
“Pilih nomor 1, jalanan baru”, “Mas Panji janjikan honor tambahan untuk Pak Lurah”, atau “Jangan khawatir, pilih nomor 1, infrastruktur di kampung-kampung beres”—begitulah suara-suara yang menggema di masyarakat.
Tangan-tangan sebagian warga menyambutnya begitu amplop dan kantong sembako berpindah tangan. Di antara para pesaingnya, Mas Panji memang terkenal paling royal.